Tuesday, January 7, 2020

"Duile anak muda macam kau sudah ngomong hidup itu keras. Apalagi ntar kalo kamu sudah mandiri, merid, punya anak dll. Sekarang mah nikmatin aja. Ciyuuuuz. Nanti-nanti lebih menantang hidup itu. Choose!

.......

There is more happiness in giving... giving ourselves especially!"


I can't even describe how all things around me are going to hell (like seriously!) these days. Sampai akhirnya seorang lecturer nge-BBM yang diatas itu. Haha. Malu jadinya. Ketauan nganut baperismenya banget ya, Ma'am? But, Ma'am, do you know how does it feel when you're involved in a pleasant conversation with somebody? Rasanya kaya baru ke-charged energi baru lagi! Ma'am, Terima kasih atas peringatan kecilnya yaa. Your words were noted in my mind (my heart, and my soul, like you said). :)

---

Dan untuk jombloers (jangan tanya siapa orang-orang ini wkwk), temen-temen baru di LIA yang bapernya udah diambang batas, grup ISIS yang setiap harinya gandeng bgt, iya kalian semua, terima kasih sudah mengingatkan bahwa "Everyday is a day to be thankful for." Karena "When your day is one of those happy days, just remember that you always have someone that loves you no matter what." Iya gitu, terharu jadinya da.


Lah post-an ini jadi kaya ajang pemberian anugrah aja ya kebanyakan makasihnya. Ck ecek ecek emang. Abis kemaren-kemaren atmosfer blog ini suram banget kayanya, melow melow gak jelas gitu kan. 

Yuk semangat yuk?


---------------------

Pas liat draft ada postingan ini yang belum ke-post. Lucu juga kalo gue baru post ini setelah 5 tahun berlalu? ;p


Friday, January 2, 2015

2/365

And I wanna be there when you're coming down
And I wanna be there when you hit the ground

So don't go away,
Say what you say
Say that you'll stay
Forever and a day
In the time of my life
'cause I need more time,
Yes, I need more time
Just to make things right




***

Current mood: bored.

Saturday, December 27, 2014

Overjoyed?

Definisi dari bahagia?
Kayanya semua orang punya definisi dan cara untuk menafsirkannya masing-masing ya. Betul?

Dan gue juga seperti itu.

Terlepas dari apa yang diberikan Dia tempo hari, sekarang-sekarang ini baru sadar, gak ada alasan untuk gak bersyukur ternyata. Setelah menengok ke belakang, ternyata ini. Ini yang disebut detail-detail kecil yang seharusnya lebih gue perhatikan. Detail-detail yang gak kasat mata ini yang seharusnya lebih gue syukuri.

Setidaknya, dengan gagal berkali-kali dan jatuh berulang-ulang, kesempatan untuk lebih bisa banyak melihat sekitar ternyata peluangnya memang besar banget. Walaupun tidak se-signifikan itu perubahannya, tapi sekarang yang dirasakan malah lebih baik dari sebelumnya. Kadang kita memang butuh tamparan ya untuk bisa melihat segalanya dari pandangan yang positif. Hahaha

Selamat melanjutkan perjuangan, Ran!


Friday, September 26, 2014

Dalam Dekapan Ukhuwah

Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh.

“Di mana keadilan Allah?”, ujarnya.
“Telah lama aku memohon dan meminta pada-Nya satu hal saja.
Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan pada-Nya.
Kujauhi segala larangannya.
Kutegakkan yang wajib.
Kutekuni yang sunnah.
Kutebarkan shodaqoh.
Aku berdiri di waktu malam.
Aku bersujud di kala dhuha.
Aku baca kalam-Nya.
Aku upayakan sepenuh kemampuan mengikut jejak Rosul-Nya.
Tapi hingga kini Allah belum mewujudkan harapanku itu.
Sama sekali.”

Saya menatapnya iba. Lalu tertunduk sedih.

“Padahal,” lanjutnya sambil kini berkaca-kaca, “Ada teman yang aku tahu ibadahnya berantakan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau. Otaknya kotor. Bicaranya bocor. Tapi begitu dia berkata bahwa dia menginginkan sesuatu, hari berikutnya segalanya telah tersaji. Semua yang dia minta didapatkannya. Di mana keadilan Allah?”

Rasanya saya punya banyak kata-kata untuk menghakiminya.
Saya bisa saja mengatakan, “Kamu sombong. Kamu bangga diri dengan ibadahmu. Kamu menganggap hina orang lain. Kamu tertipu oleh kebaikanmu sebagaimana Iblis telah terlena! Jangan heran kalau do’amu tidak diijabah. Kesombonganmu telah menghapus segala kebaikan. Nilai dirimu hanya anai-anai beterbangan. Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah karena dia merahasiakan amal sholihnya!”
Saya bisa mengucapkan itu semua. Atau banyak kalimat kebenaran lainnya.

Tapi saya sadar.
Ini ujian dalam dekapan ukhuwah.
Maka saya memilih sudut pandang lain yang saya harap lebih bermakna baginya daripada sekedar terinsyafkan tapi sekaligus terluka.
Saya khawatir, luka akan bertahan jauh lebih lama daripada kesadarannya.
Maka saya katakan padanya, “Pernahkah engkau didatangi pengamen?”

“Maksudmu?”

“Ya, pengamen,” lanjut saya seiring senyum. “Pernah?”

“Iya. Pernah.” Wajahnya serius. Matanya menatap saya lekat-lekat.

“Bayangkan jika pengamennya adalah seorang yang berpenampilan seram, bertato, bertindik, dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip teriakan yang memekakkan telinga. Suaranya kacau, balau, sengau, parau, sumbang, dan cemprang. Lagunya malah menyakitkan ulu hati, sama sekali tak dapat dinikmati. Apa yang akan kau lakukan?”

“Segera kuberi uang,” jawabnya, “Agar segera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi.”

“Lalu bagaimana jika pengamen itu bersuara emas, mirip sempurna dengan Ebiet G. Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi, apa yang kau lakukan?”

“Ku dengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata, mungkin membayangkan kemerduan yang dicanduinya itu. “Lalu kuminta dia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.”

Saya tertawa.

Dia tertawa.

“Kau mengerti kan?” tanya saya.
“Bisa saja Allah juga berlaku begitu pada kita, para hamba-Nya. Jika ada manusia yang fasik, keji, munkar, banyak dosa, dan dibenci-Nya berdo’a memohon pada-Nya, mungkin akan Dia firmankan pada malaikat: “Cepat berikan apa yang dia minta. Aku muak dengan mendengar ocehannya. Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar pintanya!”

“Tapi,” saya melanjutkan sambil memastikan dia mencerna setiap kata, “Bila yang menadahkan tangan adalah hamba yang dicintai-Nya, yang giat beribadah, yang rajin bersedekah, yang menyempurnakan wajib dan menegakkan sunnah; maka mungkin saja Allah akan berfirman pada malaikat-Nya: ‘Tunggu! Tunda dulu apa yang menjadi hajatnya. Sungguh Aku bahagia bila diminta. Dan biarlah hamba-Ku ini terus meminta, terus berdo’a, terus menghiba. Aku menyukai do’a-do’anya. Aku menyukai kata-kata dan tangis isaknya. Aku menyukai khusyu’ dan tunduknya. Aku menyukai puja dan puji yang dilantunkannya. Aku tak ingin dia menjauh dari-Ku setelah mendapat apa yang dia pinta. Aku mencintainya.”

“Oh ya?” matanya berbinar. “Betul demikiankah yang terjadi padaku?”

“Hm… Pastinya, aku tidak tahu,” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. Segera saya sambung sambil menepuk pundaknya, “Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”

Dan dia tersenyum. Alhamdulillah.

***
Dikutip dari Buku 'Dalam Dekapan Ukhuwah' karya Salim A. Fillah. 

Tuesday, September 23, 2014


Tentang menerima

Memaknai sebuah kehidupan itu memang banyak bentuknya ya, sebenarnya mengeluh pun juga termasuk. Mengeluh pada porsi yang sudah ditetapkan oleh-Nya, mengeluh pada seonggok kenyataan yang disodorkan dariNya kepadamu, pada sekeliling yang terjadi di sekitarmu, misalnya.

Gue sering mengeluh- pada apapun itu, pada hal-hal yang terjadi belakangan ini khususnya. Tentang kabar pahit 2 bulan yang lalu, apa yang telah Dia berikan  kepada gue rupanya benar-benar berdampak hebat dalam diri gue sekarang. Tapi rasanya, mengeluh bukan cara yang terbaik untuk saat ini, karena dengan mengeluh itulah hanya bisa membuat gue semakin jatuh dan rapuh dan mendiamkan diri pada keadaan yang sama tanpa ada usaha untuk selalu melihat dan jalan ke depan.

Mengulang di tahun kedua? Gak pernah ada yang bilang itu mudah, karena ketika kita telah memimpikan dan mati-matian mengusahakan mimpi itu terjadi, konsekuensinya adalah kita harus siap kehilangan dan meninggalkan mimpi itu pula disaat yang bersamaan. Dan lagi lagi, yang harus kita lakukan setelahnya apa? Hanya bisa menerima, memperbaiki diri dan pola pikir, dan memutuskan akan maju atau mundur, akan melanjutkan atau meninggalkan.

Dan akhirnya gue memilih untuk menerima, maju dan melanjutkan.
Menerima? Awalnya memang sulit, tapi, hei, bumi ini berotasi, hidup itu dinamis, bergerak maju, berjalan sesuai rencanaNya, memangnya kita ini siapa menghalangi dan ingin segalanya berjalan sesuai kehendak? 

Maju dan melanjutkan? Ini butuh energi positif yang sangat besar. Dan, entah bagaimana cara Dia menyampaikannya, Dia telah memberikan energi positifnya kepada gue, inilah yang membuat gue selalu percaya bahwa Dia menyimpan rencana yang besar untuk gue, menunggu untuk segala sesuatunya dikeluarkan. Gue cuma berharap bahwa salah satu dari rencanaNya, Dia berkenan untuk memberi kesempatan kepada gue untuk memupuk dan melanjutkan lagi apa yang menjadi tujuan gue selama ini. RencanaNya saat ini untuk gue? Mungkin ingin membuat gue lebih kuat, lebih kuat untuk menyingkirkan kerikil-kerikil yang mecoba menghalangi jalan gue, dan menguji apa gue masih percaya akan kuasa Dia atau nggak. Sesederhana itu.

Karena sesungguhnya Dialah Yang Maha Baik Pembuat Rencana.